Isi tab view pertama
Isi tab view ke 2
Isi tab View ke 3
Isi Tab view ke 4

Kamis, 11 Oktober 2012

Sumber-Sumber Pendapatan Negara (Ekonomi Internasional)


SUMBER PENDAPATAN NEGARA

Sumber-sumber pendapatan Negara ada 11 yakni :

1.       Pajak Penghasilan
Sesuai dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan), maka tarif (potongan) pajak penghasilan pribadi adalah sebagai berikut.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Rp)

Tarif Pajak
Sampai dengan 50 juta

5%
Di atas 50 juta sd 250 juta

15%
Di atas 250 juta sd 500 juta

25%
Di atas 500 juta

30%
Tarif pajak di atas diberlakukan setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dikurangi dari penghasilan bersih yang disetahunkan.
2.       Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.

Karakteristik

·         Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
·         Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
·         Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
·         Menghindari pengenaan pajak berganda.
·         Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

3.       Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP . Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Hak-hak Wajib Pajak
1.      Meminta Juru Sita memperlihatkan tanda pengenal Juru Sita Pajak.
2.      Menerima salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
3.      Menentukan urutan barang yang akan dilelang
4.      Mendapat kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak beserta denda termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang serta melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan sebelum pelaksanaan lelang.
Kewajiban Wajib Pajak
1.      Membantu Juru Sita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dengan : memperbolehkan memasuki ruangan, tempat usaha, tempat tinggal; dan memberikan keterangan lisan atau pun tertulis;yangdiperlukan;
2.      Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan, atau disewakan.
4.       BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan [BPHTB] merupakan pajak yang pertama diserahkan ke Pemkot/Pemkab. Mulai 1 Januari 2011, BPHTB menjadi pajak daerah dan dikelola oleh Pemerintah Kota [pemkot] atau Pemerintah Kabupatan [pemkab]. Sebelumnya, BPHTB dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini DJP [Direktorat Jenderal Pajak].
OBJEK , SUBJEK dan WAJIB PAJAK BPHTB

A. OBJEK BPHTB
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:

1. Pemindahan Hak karena :
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam Lelang
i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
j. Penggabungan Usaha
k. Peleburan Usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah

5.       Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dinakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
            Pemungutan Cukai
Pemungut Cukai (dalam bahasa Yunani publicani) adalah istilah yang digunakan bagi orang yang bertugas mengumpulkan pajak dari masyarakat Yahudi untuk diserahkan kepada pemerintah Romawi di Palestina sekitar abad pertama.[1] Dengan demikian, pemungut cukai adalah petugas pajak, dan merupakan salah satu jenis pekerjaan di masyarakat Yahudi waktu itu.[1] Akan tetapi, profesi pemungut cukai dipandang buruk oleh masyarakat Yahudi di sekitar mereka, bahkan cenderung dibenci oleh rakyat.[2] Alasan dibencinya para pemungut cukai setidaknya ada tiga:
·         Ditariknya pajak dibenci oleh rakyat sebab memberatkan mereka.[2]
·         Pemungut cukai menarik pajak untuk pemerintah Romawi yang dianggap musuh oleh rakyat.[2]
·         Cara yang digunakan para pemungut cukai sangat kejam dan tidak adil.[2]
Di dalam injil-injil Perjanjian Baru, ada beberapa kali disebutkan mengenai para pemungut cukai dan pandangan negatif masyarakat Yahudi terhadap mereka.[2] Teks-teks injil yang berbicara mengenai pemungut cukai adalah kisah pemanggilan Lewi si pemungut cukai oleh Yesus untuk menjadi muridnya (Markus 2:13-17), kisah pertemuan Yesus dengan Zakheus si pemungut cukai (Lukas 19:1-10), dan perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14).

Syarat-syarat pemungut cukai

Seorang pemungut cukai bukanlah orang sembarangan, sebab mereka perlu memiliki kemampuan menulis, membaca, dan berhitung.[3] Selain itu, mereka perlu memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang, baik pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.[3] Karena mereka berasal dari masyarakat, mereka dituntut untuk tidak terlalu menindas rakyat mereka sendiri namun sekaligus menghindari dari pejabat pemerintah yang korup.[3] Meskipun demikian, para pemungut cukai tetap dianggap sebagai pengkhianat oleh masyarakat Yahudi, apalagi jika pemungut cukai terlalu berlebihan dalam menarik pajak untuk memperkaya diri mereka sendiri.[4]
6.       Bea Masuk
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Sebagai salah satu jenis pajak berdasar asas domisili. Bea masuk menggunakan sistem tarif advalorum yang besarnya diatur oleh Menteri Keuangan dan dicantumkan dalam Harmonized System. Barang yang diimpor ke Indonesia wajib membayar bea masuk sebelum dikeluarkan dari kawasan pabean, kecuali dalam beberapa hal tertentu yang diatur dalam undang-undang.

Perhitungan Bea Masuk

Jenis dan kondisi barang impor akan sangat memengaruhi pengenaan bea masuknya.Bea masuk atas barang impor dihitung dari unsur harga barang (Cost), unsur Asuransi (Insurance) dan biaya angkut (Freight) yang dikonversi dalam satuan kurs Rupiah dengan nilai tukar yang berlaku pada hari dihitungnya bea masuk tersebut. Hasil perhitungan dari ketiga unsur tersebut disebut Nilai Pabean yang selanjutnya besarnya bea masuk akan didapatnya dengan dikalikan besaran bea masuk.
7.       Pajak/Pungutan Ekspor
Pengenaan Pungutan Ekspor (PE) untuk barang-barang tertentu adalah dalam rangka :
  1. Menjaga kesinambungan persediaan bahan baku sehingga terjaminnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri;
  2. Terlindunginya kelestarian sumber daya alam;
  3. Terjaminnya stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri; dan
  4. Meningkatkan daya saing ekspor tertentu.
Dasar Hukum
  1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005 tentang Pungutan Ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu;
  2. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 92/PMK.02/2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor ;
  3. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 95/PMK.02/2005 tanggal 11 Oktober 2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan Ekspor Batu Bara;
  4. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 24/M-DAG/PER/11/2005 tanggal 25 Nopember 2005 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) Atas Barang Ekspor Tertentu;
  5. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 25/M-DAG/PER/12/2005 tanggal 2 Desember 2005 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Barang Ekspor Tertentu.
Perhitungan Pungutan Ekspor (PE)
  1. Perhitungan pungutan ekspor didasarkan pada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang diterapkan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan harga rata-rata Internasional;
  2. Pungutan Ekspor (PE) dihitung berdasarkan rumus : Tarif Pajak Ekspor (PE) x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs;
  3. Tarif pungutan ekspor yang digunakan sebagai dasar perhitungan pungutan ekspor adalah tarif pajak ekspor yang berlaku pada saat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai;
  4. HPE yag digunakan sebagai dasar perhitungan PE adalah HPE yang berlaku pada saat Peb didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.
Komoditi-komoditi yang terkena Pungutan Eskpor
1. Rotan
2. Kayu
3. Pasir
4. Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya
5. Kulit
6. Batubara
8.       Pajak Lainnya

9.       Penerimaan SDA
Penerimaan SDA, yang terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan penerimaan SDA nonmigas merupakan sumber utama PNBP. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata sekitar 68,4 persen terhadap total PNBP. Penerimaan SDA migas merupakan penerimaan yang bersumber dari penerimaan minyak bumi dan penerimaan gas bumi. Sedangkan penerimaan SDA nonmigas diperoleh dari penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan penerimaan pertambangan panas bumi.

10.   Bagian Laba BUMN
Penerimaan negara dari sektor perpajakan diperkirakan akan terkoreksi ke bawah seiring dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang juga diperkirakan melambat. Sebagai langkah antisipasi mengamankan penerimaan negara, pemerintah mengejar bagian laba (dividen) badan usaha milik negara (BUMN). 
Dalam nota keuangan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBN-P) 2012 yang diperoleh merdeka.com, pemerintah menggenjot target pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sebelumnya Rp 277,9 triliun di APBN 2012 menjadi Rp 331,9 triliun. Salah satu langkah pemerintah adalah mematok dividen dari perusahaan pelat merah lebih besar dari yang ditarget sebelumnya. Laba BUMN ditargetkan sebesar Rp 30,7 triliun atau meningkat Rp 2 triliun dari target sebelumnya yang hanya sebesar Rp 28 triliun.
11.   PNBP lainnya
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) untuk PTN seluruhnya harus disetor ke kas negara, jika dibutuhkan, dana tersebut proses pencairannya melalui birokrasi keuangan cukup panjang dan ketat. Hal ini kadang mengambat kelancaran pelaksanaan kegiatan akademik di PTN. Bila pengelolaan keuangan PTN mengacu pada konsep BLU (Badan Layanan Umum), maka tidak seluruh pendapatan PTN harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh PTN bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup diaudit.
Usulan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) pada awalnya mendapat tantangan dari Dikti yang pada saat itu sangat berkeinginan untuk mewujudkan PT BHP. Dengan semakin banyaknya temuan penyimpangan penerimaan dan penggunaan PNBP di beberapa PTN dan tingginya resiko pelanggaran hukum, maka pada Rembuk Pendidikan Nasional pada tanggal 4-6 Februari 2008 di Jakarta dan beberapa pertemuan rektor PTN se-Indonesia, maka disepakati bahwa PTN dapat mengusulkan PK BLU.

http://www.merdeka.com/uang/rapbn-p-2012-pemerintah-kejar-laba-bumn.html
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar