SUMBER PENDAPATAN NEGARA
Sumber-sumber pendapatan Negara
ada 11 yakni :
1. Pajak
Penghasilan
Sesuai
dengan Pasal 17 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008 (Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan), maka tarif (potongan) pajak penghasilan pribadi adalah
sebagai berikut.
Lapisan Penghasilan Kena
Pajak (Rp)
|
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan 50 juta
|
|
5%
|
Di atas 50 juta sd 250 juta
|
|
15%
|
Di atas 250 juta sd 500 juta
|
|
25%
|
Di atas 500 juta
|
|
30%
|
Tarif pajak di atas
diberlakukan setelah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dikurangi dari
penghasilan bersih yang disetahunkan.
2. Pajak
Pertambahan Nilai
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang
atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax
(VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak
langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang
bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir)
tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme
pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen
sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP.
Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak
keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP
menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP
membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia
menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum
utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No.
8 Tahun 1983
berikut perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 1994, Undang-Undang No. 18
Tahun 2000,
dan Undang_Undang No. 42 Tahun 2009.
Karakteristik
·
Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban
pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak
adalah subjek yang berbeda.
·
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak
didasarkan pada objek pajak.
·
Menghindari pengenaan pajak berganda.
·
Dihitung dengan metode pengurangan tidak
langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran
pajak masukan dan pajak keluaran.
3. Pajak
Bumi dan Bangunan
Pajak
bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP
ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri
keuangan.
Besarnya
PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP .
Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1
miliar
rupiah)
atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB
yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Hak-hak Wajib Pajak
1. Meminta
Juru Sita memperlihatkan tanda pengenal Juru Sita Pajak.
2. Menerima
salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
3. Menentukan
urutan barang yang akan dilelang
4. Mendapat
kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak beserta denda termasuk biaya
penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang serta melaporkan pelunasan
tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan sebelum
pelaksanaan lelang.
Kewajiban Wajib Pajak
1. Membantu
Juru Sita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dengan : memperbolehkan memasuki
ruangan, tempat usaha, tempat tinggal; dan memberikan keterangan lisan atau pun
tertulis;yangdiperlukan;
2. Barang
yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan, atau disewakan.
4. BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan [BPHTB] merupakan pajak
yang pertama diserahkan ke Pemkot/Pemkab. Mulai 1 Januari 2011, BPHTB
menjadi pajak daerah dan dikelola oleh Pemerintah Kota [pemkot] atau Pemerintah Kabupatan
[pemkab]. Sebelumnya, BPHTB dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini DJP
[Direktorat Jenderal Pajak].
OBJEK , SUBJEK dan WAJIB PAJAK BPHTB
A. OBJEK BPHTB
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1. Pemindahan Hak karena :
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam Lelang
i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
j. Penggabungan Usaha
k. Peleburan Usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah
A. OBJEK BPHTB
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
1. Pemindahan Hak karena :
a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya
g. Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam Lelang
i. Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
j. Penggabungan Usaha
k. Peleburan Usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah
5. Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dinakan terhadap barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, yaitu: konsumsinya
perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu
pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Pemungutan Cukai
Pemungut
Cukai (dalam bahasa Yunani publicani) adalah istilah
yang digunakan bagi orang yang bertugas mengumpulkan pajak dari masyarakat Yahudi untuk
diserahkan kepada pemerintah Romawi di Palestina sekitar abad pertama.[1]
Dengan demikian, pemungut cukai adalah petugas pajak, dan merupakan salah satu
jenis pekerjaan di masyarakat Yahudi waktu itu.[1]
Akan tetapi, profesi pemungut cukai dipandang buruk oleh masyarakat Yahudi di
sekitar mereka, bahkan cenderung dibenci oleh rakyat.[2]
Alasan dibencinya para pemungut cukai setidaknya ada tiga:
·
Ditariknya pajak dibenci oleh rakyat sebab
memberatkan mereka.[2]
·
Pemungut cukai menarik pajak untuk pemerintah
Romawi yang dianggap musuh oleh rakyat.[2]
·
Cara yang digunakan para pemungut cukai sangat
kejam dan tidak adil.[2]
Di dalam injil-injil Perjanjian
Baru, ada beberapa kali disebutkan mengenai para pemungut cukai dan
pandangan negatif masyarakat Yahudi terhadap mereka.[2]
Teks-teks injil yang berbicara mengenai pemungut cukai adalah kisah pemanggilan
Lewi si pemungut cukai
oleh Yesus untuk menjadi muridnya (Markus 2:13-17),
kisah pertemuan Yesus dengan Zakheus si pemungut cukai (Lukas 19:1-10), dan
perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14).
Syarat-syarat pemungut cukai
Seorang
pemungut cukai bukanlah orang sembarangan, sebab mereka perlu memiliki
kemampuan menulis, membaca, dan berhitung.[3]
Selain itu, mereka perlu memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan
orang-orang, baik pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.[3]
Karena mereka berasal dari masyarakat, mereka dituntut untuk tidak terlalu
menindas rakyat mereka sendiri namun sekaligus menghindari dari pejabat
pemerintah yang korup.[3]
Meskipun demikian, para pemungut cukai tetap dianggap sebagai pengkhianat oleh
masyarakat Yahudi, apalagi jika pemungut cukai terlalu berlebihan dalam menarik
pajak untuk memperkaya diri mereka sendiri.[4]
6. Bea
Masuk
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang
dikenakan terhadap barang yang memasuki daerah pabean. Sebagai salah satu jenis
pajak berdasar asas domisili. Bea masuk menggunakan sistem tarif
advalorum yang besarnya diatur oleh Menteri Keuangan dan dicantumkan
dalam Harmonized
System. Barang yang diimpor ke Indonesia wajib membayar bea masuk
sebelum dikeluarkan dari kawasan pabean, kecuali dalam beberapa hal tertentu
yang diatur dalam undang-undang.
Perhitungan Bea Masuk
Jenis dan
kondisi barang impor akan sangat memengaruhi pengenaan bea masuknya.Bea masuk
atas barang impor dihitung dari unsur harga barang (Cost), unsur Asuransi
(Insurance) dan biaya angkut (Freight) yang dikonversi dalam satuan kurs Rupiah
dengan nilai tukar yang berlaku pada hari dihitungnya bea masuk tersebut. Hasil
perhitungan dari ketiga unsur tersebut disebut Nilai Pabean yang selanjutnya
besarnya bea masuk akan didapatnya dengan dikalikan besaran bea masuk.
7. Pajak/Pungutan
Ekspor
Pengenaan Pungutan Ekspor (PE) untuk
barang-barang tertentu adalah dalam rangka :
- Menjaga kesinambungan persediaan bahan baku sehingga terjaminnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri;
- Terlindunginya kelestarian sumber daya alam;
- Terjaminnya stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri; dan
- Meningkatkan daya saing ekspor tertentu.
Dasar Hukum
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005 tentang Pungutan Ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu;
- Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 92/PMK.02/2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor ;
- Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 95/PMK.02/2005 tanggal 11 Oktober 2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan Ekspor Batu Bara;
- Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 24/M-DAG/PER/11/2005 tanggal 25 Nopember 2005 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) Atas Barang Ekspor Tertentu;
- Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 25/M-DAG/PER/12/2005 tanggal 2 Desember 2005 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Barang Ekspor Tertentu.
Perhitungan Pungutan Ekspor (PE)
- Perhitungan pungutan ekspor didasarkan pada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang diterapkan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan harga rata-rata Internasional;
- Pungutan Ekspor (PE) dihitung berdasarkan rumus : Tarif Pajak Ekspor (PE) x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs;
- Tarif pungutan ekspor yang digunakan sebagai dasar perhitungan pungutan ekspor adalah tarif pajak ekspor yang berlaku pada saat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai;
- HPE yag digunakan sebagai dasar perhitungan PE adalah HPE yang berlaku pada saat Peb didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.
Komoditi-komoditi
yang terkena Pungutan Eskpor
1. Rotan
2. Kayu
3. Pasir
4. Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya
5. Kulit
6. Batubara
8. Pajak
Lainnya
9. Penerimaan
SDA
Penerimaan
SDA, yang terdiri dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas) dan
penerimaan SDA nonmigas merupakan sumber utama PNBP. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan SDA
memberikan kontribusi rata-rata sekitar 68,4 persen terhadap total PNBP.
Penerimaan SDA migas merupakan penerimaan yang bersumber dari penerimaan minyak
bumi dan penerimaan gas bumi. Sedangkan penerimaan SDA nonmigas diperoleh dari
penerimaan pertambangan umum, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, dan
penerimaan pertambangan panas bumi.
10. Bagian
Laba BUMN
Penerimaan
negara dari sektor perpajakan diperkirakan akan terkoreksi ke bawah seiring
dengan penurunan target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang juga diperkirakan
melambat. Sebagai langkah antisipasi mengamankan penerimaan negara, pemerintah
mengejar bagian laba (dividen) badan usaha milik negara (BUMN).
Dalam nota
keuangan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBN-P)
2012 yang diperoleh merdeka.com, pemerintah menggenjot target pendapatan negara
bukan pajak (PNBP) dari sebelumnya Rp 277,9 triliun di APBN 2012 menjadi Rp
331,9 triliun. Salah satu langkah pemerintah adalah mematok dividen dari
perusahaan pelat merah lebih besar dari yang ditarget sebelumnya. Laba BUMN
ditargetkan sebesar Rp 30,7 triliun atau meningkat Rp 2 triliun dari target
sebelumnya yang hanya sebesar Rp 28 triliun.
11. PNBP
lainnya
PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) untuk PTN seluruhnya harus disetor
ke kas negara, jika dibutuhkan, dana tersebut proses pencairannya melalui
birokrasi keuangan cukup panjang dan ketat. Hal ini kadang mengambat kelancaran
pelaksanaan kegiatan akademik di PTN. Bila pengelolaan keuangan PTN mengacu
pada konsep BLU (Badan Layanan Umum), maka tidak seluruh pendapatan PTN
harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh PTN bersangkutan
dengan catatan siap dan sanggup diaudit.
Usulan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU) pada awalnya
mendapat tantangan dari Dikti yang pada saat itu sangat berkeinginan untuk
mewujudkan PT BHP. Dengan semakin banyaknya temuan penyimpangan penerimaan dan
penggunaan PNBP di beberapa PTN dan tingginya resiko pelanggaran hukum, maka
pada Rembuk Pendidikan Nasional pada tanggal 4-6 Februari 2008 di Jakarta dan
beberapa pertemuan rektor PTN se-Indonesia, maka disepakati bahwa PTN dapat
mengusulkan PK BLU.
http://www.merdeka.com/uang/rapbn-p-2012-pemerintah-kejar-laba-bumn.html