Isi tab view pertama
Isi tab view ke 2
Isi tab View ke 3
Isi Tab view ke 4

Kamis, 27 September 2012

Makalah_Qiroat (Ulumul Qur'an)


BAB I
PEBDAHULUAN

Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada masing-masing suku. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya.
Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu,. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf) dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya.
Makalah ini akan membahas tentang hal tersebut. Adapun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Sejarah qiraat
2. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan qiraah.
3. Penyebab perbedaan qiraat
4. Apa saja bentuk qira’ah, dan
5. Urgensi Mempelajari Qiroat






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Qiro’at dan Sejarah Perkembangannya
Bahwa bangsa Arab, yang padanya Nabi Muhammad SAW itu diutus, mereka terdiri dari berbagai suku bangsa atau kabilah. Tempat tinggalnya di tanah tandus padang pasir, hidup secara berkelompok yang berjauhan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Bahasa resminya adalah bahasa Arab, yang masing-masing kabilah itu mempunyai lahjah (dialek, bunyi suara) yang berbeda-beda. Dari sekian banyak lahjah yang ada, maka lahjah suku Quraisylah yang paling tinggi mutunya serta paling banyak dipergunakan orang.[1]
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an, dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berbangsa Arab itu, maka sudah selayaknya kalau Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab. Seperti telah diterangkan tadi, bhawa lahjah Quraisy merupakan lahjah yang terbaik dan yang paling banyak dipergunakan orang, maka sudah pada tempatnya pula kalau yang dipilih itu juga lahjah Quraisy, sebagaimana Nabi Muhammad itu juga berasal dari suku Quraisy.
Sahabat-sahabat Nabi terdiri dari berbagai kabilah yang masing-masing mempunyai lahjah sendiri-sendiri, berlainan satu dengan lainnya. Memaksa mereka membaca Al-Qur’an dengan lahjah yang tidak lazim dan tidak dikuasainya adalah suatu hal yang menyulitkan. Merubah lahjah yang sudah terbiasa, bukanlah pekerjaan yang gampang.[2]

B.     Pengertian Qiro’at
Qiroat adalah bentuk jamak dari kata qiraah yang secara bahasa berarti bacaan. Secara istilah, Al-Zarqani megemukakan defenisi qiraah sebagai berikut:
“suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari padanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.[3]

Defenisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qiraat dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Cara membaca Al-Qur’an berbeda dari satu imam dengan imam qiraah lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu mazhab qiroah didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad. Ketiga, perbedaan anatar qiraah-qiraah bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan.
Disamping itu, bn al-Jazari membuat defenisi berikut:




“Qiraat adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalmat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya”.
Menurut dia, Al-Muqri’  adalah seorang yang mengetahui qiraah-qiraah dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al-Taisir (kitab qiraah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsal).




C.    Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qiraat
  1. Latar Belakang Historis
Qiraat sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi di atas:
a.       Suatu ketika ‘Umar bin Al-Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur’an. ‘Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ‘Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa di atas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, nabi bersabda:



Artinya:
memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.
b.       Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
saya masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, sayabertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl[16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu kepada dua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, ‘Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya dengan baik.”

  1. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada’)
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :[4]
a.       Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
b.      Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
c.       Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.”
d.      Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e.       Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
f.       Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”.
g.      Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”

D.    Sebab-sebab Perbedaan Qiroat
Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah :[5]
1.      Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya,  nabi memakai beberapa versi qiraat.
2.      Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin.
3.      Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi Qiroat yang ada.
4.      Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.
E.     Macam-macam Qiroat
1.      Dari segi kuantitas
a.       Qiraah sab’ah (qiraah tujuh) Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh.
b.      Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat
c.       Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).[6]

2.      Dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu:[7]
a.       Qiraat Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai     akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
b.      Qiraat Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
c.       Qiraat Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.
d.      Qiraat Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini. 5. Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani
e.       As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

F.     Urgensi Mempelajari Qiroat
1.      Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.
2.      Dapat man-tarjih hukum yang diperselisihkan para ulama.
3.      Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda.
4.      Dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5.      Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.[8]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Qiraat adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an baik menyangkut hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf. Qiraat memiliki bermacam-macam, yakni qiraat sab’ah, qiraat asyrah dan qiraat arbaah asyrah.
Qiraat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu hukum akibat perbedaan kata, huruf dan cara baca. Pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu qira’at sangatlah penting. Hal ini ditujukan agar kita tidak saling berselisih karena perbedaan cara baca ayat Alquran seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ustman bin Affan. Perbedaan versi qira’at disebabkan karena para ulama berlainan dalam menerima bacaan ayat, sehingga terjadi perselisihan di antara ulama. Kemudian khalifah Ustman bin Affan menyalin dan menyebar luaskan ayat Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq ke berbagai daerah untuk mengatasi perselisihan.












DAFTAR PUSTAKA

Anwar,  Rosihon. 2008. Ulum Al-Quran. Jakarta: CV Pustaka Setia.
Muhammad, Teungku Hasbi 1999. Ulumul Qur’an. Semarang: PT Pustaka Riski Putra.
Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali.

 


[1] Teungku Muhammad Hasbi, Ulumul Qur’an, (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1999), hlm. 98.
`               [2] Ibid., hlm. 99.
[3] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 115.
[4] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Jakarta: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 146.
[5] Ibid,. Hlm. 148.
[6] Ibid,. Hlm. 149.
[7] Ibid,. Hlm. 151.
[8] Ibid,. Hlm. 155.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar